MODEL METAKOGNISI DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
(Sebuah upaya meningkatkan pembelajaran
matematika)
Sugeng Sudarsono
Abstarak
Metakognisi merupakan konsep penting dalam teori
kognisi yang secara sederhana didefinsikan sebagai “memikirkan
kembali apa yang telah dipikirkan”, bahkan ada ahli yang
menghubungkan metakognisi dengan fungsi eksekutif kontrol atau pemrosesan
informasi. Walaupun pendefinisiannya berbeda, namun secara umum
metakognisi merupakan kesadaran atau pengetahuan seseorang terhadap proses dan
hasil berpikirnya (kognisinya) serta kemampuannya dalam mengontrol dan
mengevaluasi proses kognitif
Dalam hubungannya dengan pembelajaran matematika
metakognisi dapat berperanan dalam membantu siswa menyelesaikan masalah yang
dihadapi, terdapat 3 aspek metakognisi yang berbeda yang relevan dengan dalam
pembelajaran matematika, yaitu: (1). Keyakinan dan Intuisi (beliefs
and intuitions). Memiliki Ide-ide tentang matematika yang disiapkan untuk
menyelesaikan matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk cara untuk
memecahkan masalah, (2) Pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya, dalam
hal ini bagaimana seseorng menguraikan pemikirannya secara tepat. Di sini
dibutuhkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, dan bagaimana menyelesaikan
tugas yang dibuat, serta (3). Kesadaran diri (Self awareness) atau
Pengaturan diri (Self Regulation). Bagaimana seseorang
mengontrol apa yang telah dilakukannya, masalah yang telah diselesaikan dan
bagaimana baiknya ia menggunakan hasil pengamatan untuk menyelesaikan
masalahnya
Kata Kunci
: Metakognisi, keyakinan dan intuisi, apa yang diketahui, bagaimana
menyelesaikan, kesadaran diri dan menggunakan hasil pengamatan untuk
menyelesaikan masalah
A.
PENDAHULUAN
Pembelajaran pada dasarnya
merupakan suatu proses yang kompleks yang memerlukan penanganan yang
professional,karena tidak hanya dibutuhkan penguasaan terhadap
keterampilan-keterampilan untuk mengajar tetapi juga penguasaan terhadap
apa yang diajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran bukan
merupakan suatu hal yang mudah, karena keberhasilan pembelajaran ditentukan
oleh proses pembuatan dan pelaksanan keputusan . Pengambilan keputusan dalam
memilih strategi, memilih pendekatan materi serta keputusan untuk melaksanakan
apa yang dipilih merupakan proses yang perlu dilakukan guru.
Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan Hunter (2004) bahwa :pembelajaran didasarkan pada premis
bahwa guru adalah pengambil keputusan. Seorang guru perlu
mempertimbangkan banyak hal dan kemudian memutuskan untuk memilih salah satu
yang yang terpenting, baik dalam membuat perencanaan, melakukan
pengajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang dilakukan.
Demikian juga dalam proses belajar, seorang pebelajar yang baik akan
mengawali aktifitas belajarnya dengan merencanakan apa yang akan
dilakukannya ketika ia belajar, dan akan memutuskan apakah ia menguasai apa
yang telah dipelajarinya. Pembelajaran yang terjadi merupakan suatu
aktifitas yang melibatkan proses reflektif terhadap apa yang dilakukan. Ini
menunjukkan bahwa proses reflektif atau perenungan merupakan sebuah “tool”
yang sangat berguna dan perlu dimiliki setiap tenaga pengajar maupun
pebelajar.
Apabila ditinjau dari sudut
pandang pedagogic, maka refleksi atau perenungan pada dasarnya adalah pilar
utama metakognisi, sehingga pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
pembelajaran akan efektif bila didasarkan atas pertimbangan yang bersifat
metakognisi.
Metakognisi merupakan konsep penting dalam teori kognisi yang secara
sederhana didefinsikan sebagai “memikirkan kembali apa yang telah
dipikirkan”, bahkan ada ahli yang menghubungkan metakognisi dengan fungsi
eksekutif kontrol atau pemrosesan informasi. Walaupun pendefinisiannya berbeda,
namun secara umum metakognisi merupakan kesadaran atau pengetahuan
seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya (kognisinya) serta kemampuannya
dalam mengontrol dan mengevaluasi proses kognitif tersebut. Menurut Flavell
(Livingstone(1979), de Soete (2004), Gama (2004), Panoura (2006))
metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif dan pengalaman atau
pengarahan metakognitif Pengetahuan metakognitif merupakan interaksi
antara tiga variabel yakni variabel individu (person variable),
variabel strategi (strategy variable), dan variabel tugas (task
variable). Beberapa peneliti juga mengelompokkan keyakinan diri dalam
komponen pengetahuan metakognitif, dan pengalaman menggunakan proses kognitif
dikelompokkan dalam pengalaman metakognitif, karena pengalaman ini akan
memunculkan kesadaran terhadap apa yang kita pikirkan. Pengalaman metakognitif
sering di sebut juga sebagai strategi metakognitif yang terdiri dari
perencanaan, pemonitoran dan pengevaluasian terhadap proses kognitif kita
sendiri.
Dalam hubungannya dengan
pembelajaran matematika metakognisi dapat berperanan dalam membantu siswa
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Schoenfeld
(1992) terdapat 3 aspek metakognisi yang berbeda yang relevan dengan dalam
pembelajaran matematika, yaitu: (1). Keyakinan dan Intuisi (beliefs
and intuitions). Memiliki Ide-ide tentang matematika yang disiapkan untuk
menyelesaikan matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk cara untuk
memecahkan masalah, (2) Pengetahuan seseorang tentang proses berpikirnya, dalam
hal ini bagaimana seseorng menguraikan pemikirannya secara tepat. Di sini
dibutuhkan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, dan bagaimana menyelesaikan
tugas yang dibuat, serta (3). Kesadaran diri (Self awareness) atau
Pengaturan diri (Self Regulation). Bagaimana seseorang
mengontrol apa yang telah dilakukannya, masalah yang telah diselesaikan dan
bagaimana baiknya ia menggunakan hasil pengamatan untuk menyelesaikan
masalahnya.
Aspek-aspek metakognisi yang
dikemukakan tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu, sejak kecil. Hal
ini dikemukakan oleh Vennman, dkk (2006) bahwa antara usia 3 dan 5 tahun
metamemori dan pengetahuan metakog nitif mulai berkembang dan berlangsung
seiring perkembangan usia, sedangkan keterampilan metakognitif berkembang
antara 8 dan 10 tahun dan berkembang pada saat-saat dibutuhkan. Dengan demikian
pada usia sekolah, anak-anak sudah bisa memanfaatkan metakognisi mereka bahkan
bisa ditumbuhkembang melalui interaksi dengan orang lain.
Dalam hubungaannya dengan
pembelajaran matematika, pemanfaatan metakognisi dapat dilihat ketika siswa
diminta untuk mengemukakan ide-ide matematika, atau berdiskusi dalam kelompok.
Aktifitas metakognitif akan terjadi jika ada interaksi antara beberapa individu
yang membicarakan suatu masalah. Dalam proses penyelesaian masalah matematika siswa
tentunya memahami masalah, merencanakan strategi penyelesaian, membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan, serta melaksanakan keputusan
tersebut. Dalam proses tersebut mereka seharusnya memonitoring dan mengecek
kembali apa yang telah dikerjakannya. Apabila keputusan yang diambil tidak
tepat, maka mereka seharusnya mencoba alternatif lain atau membuat suatu
pertimbangan. Proses menyadari adanya kesalahan, memonitor hasil pekerjaan
serta mencari alternatif lain merupakan beberapa aspek-aspek metakognisi yang
perlu dalam penyelesaian masalah matematika.
Gambaran di atas menunjukkan
bahwa peranan metakognisi sangat penting dalam proses penyelesaian masalah
maupun dalam proses pembelajaran matematika. Kenyataan yang terjadi dalam
banyak kelas matematika adalah pebelajar kurang memanfaatkan metakognisi mereka
ketika menyelesaikan masalah, sehingga mereka tidak memahami apa yang
dipelajarinya. Melalui aktifitas pembelajaran yang dirancang dengan baik, akan
muncul aspek-aspek metakognisi yang sangat membantu pebelajar dalam memahami
materi yang dipelajari maupun menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Permasalahan yang akan dibahas
melalui tulisan ini adalah bagaimana mengembangkan metakognisi pebelajar dalam
pembelajaran matematika. Pengembangan dimaksud adalah proses pemanfaatan
berbagai strategi yang dapat mengaktifkan metakognisi pebelajar pada saat
berlangsungnya proses pembelajaran khususnya pada pembelajaran matematika.
B.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Metakognisi.
Metakognisi merupakan suatu istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli
psikologi sebagai hasil dari perenungan mereka terhadap kondisi mengapa ada
orang yang belajar dan mengingat lebih dari yang lainnya. Metakognisi
terdiri dari awalan ”meta” dan kata ”kognisi”. Meta merupakan awalan
untuk kognisi yang artinya ”sesudah” kognisi. Awalan ini digunakan Flavell
(1976) untuk memperkenalkan istilah metamemori dalam penelitiannya tentang
proses ingatan anak. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), penambahan awalan
“meta” pada kata kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi adalah
“tentang” atau “di atas” atau “sesudah ” kognisi. Dengan demikian secara
harfiah metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan
tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Di samping pengertian
metakognisi sebagai berpikir tentang apa yang dipikirkan, ada peneliti yang
menghubungkan istilah ini dengan pemikiran yang bersifat reflektif (deSoete,
2001). Kata reflektif berasal dari kata ”to reflect” artinya ”to
think about”, sehingga dapat dikatakan bahwa [pengertian metakognisi
hampir sama dengan pengertian perefleksian terhadap apa yang dipikirkannya.
Pengertian yang sama juga dikemukakan Soedjadi (2007) bahwa berpikir reflektif
lebih cenderung ”ke arah diri” atau lebih cenderung ke arah metakognisi.
Istilah metakognisi yang
diperkenalkan Flavell mendatangkan banyak perdebatan dalam pendefinisiannya.
Arti metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian
psikologi, begitu juga tidak bisa diterapkan pada satu bidang psikologi saja.
Ketidakkonsistenan ini muncul karena para peneliti mendefinisikannya sesuai
dengan bidang penelitiannya. Menurut Flavell (Yong & Kiong, 2006), “… metacognition
refers to one’s knowledge concerning one’s own cognitive processes and products
or anything related to them, …..metacognition refers, among other things, to
the active monitoring and consequent regulation and orchestration of these
processes in relation to the cognitive objects or data on which they bear,
usually in the service of some concrete goal.” Penjelasan ini menunjukkan
bahwa Flavel mendefinisikan aspek pertama dari metakognisi sebagai pengetahuan
seseorang terhadap proses dan hasil kognitifnya atau segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, kemudian aspek kedua dari metakognisi didefinisikan
sebagai pemonitoran dan pengaturan diri terhadap aktivitas kognitif
sendiri.
Schoenfeld (1992)
mendefinisikan metakognisi sebagai berikut: “metacognition is thinking
about our thinking and it comprises of the following three important aspects:
knowledge about our own thought processes, control or self–regulation, and
belief and intuition. Pengertian ini menunjukkan bahwa metakognisi
diartikan sebagai pemikiran tentang pemikiran kita sendiri yang merupakan
interaksi antara tiga aspek penting yaitu: pengetahuan tentang proses
berpikir kita sendiri, pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan
intuisi). Interaksi ini sangat penting karena pengetahuan kita tentang proses
kognisi kita dapat membantu kita mengatur hal-hal di sekitar kita dan
menyeleksi strategi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita
selanjutnya. Misalnya kita menyadari bahwa kita sering lupa atau kita kurang
memahami suatu konsep matematika dan kita sadar bahwa konsep itu lebih
sulit dibandingkan dengan konsep yang lain, dan untuk itu kita perlu memilih
cara tertentu (misalnya dengan menggaris bawahi pengertian dari konsep tersebut
) yang menurut kita lebih membantu kita memahami atau mengingat kembali apa
yang kita lupa tadi.
Berdasarkan pengertian di atas
maka dapat dikatakan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan atau kesadaran
seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya. Metakognisi tidak sama
dengan kognisi, misalnya keterampilan yang digunakan untuk membaca suatu teks
berbeda dengan keterampilan memonitor pemahaman terhadap teks tersebut.
Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba merenungkan cara
berpikir atau merenungkan proses kognitif yang dilakukannya. Dengan
demikian aktifitas seperti merencanakan bagaimana pendekatan yang diberikan
dalam tugas-tugas pembelajaran, memonitor kemampuan dan mengevaluasi rencana
dalam rangka melaksanakan tugas merupakan sifat-sifat alami dari metakognisi.
Secara umum metakognisi memiliki komponen-komponen yang disebut
sebagai pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognisi. Pengetahuan
metakognisi adalah pengetahuan yang digunakan untuk mengarahkan proses berpikir
kita sendiri. Pengarahan proses berpikir ini dapat dilakukan melalui aktivitas
perencanaan (planning), pemonitoran (monitoring) dan
pengevaluasian (evaluation). Aktivitas aktivitas ini disebut
juga sebagai strategi metakognitif atau keterampilan metakognitif yang
dapat membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Misalnya dalam
penyelesaian masalah matematika ketika pengetahuan metakognitif
terhadap suatu tujuan tertantang maka akan melahirkan pengalaman metakognitif
berupa perasaan sulit karena pencapaian tujuan tersebut tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan. Ketika menyadari tantangan tersebut dan pentingnya masalah
tersebut diselesaikan,dan timbul kesadaran untuk menyelesaikan dengan mencari
berbagai strategi, maka hal ini menunjukkan adanya pemanfaatan aktifitas
metakognitif.
Dalam hubungannya dengan
penyelesaian masalah matematika, beberapa peneliti (Yong & King, 2006;
Panoura, 2005; Gama, 2004) mengemukakan bhawa keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan masalah turut dipengaruhi oleh aktivitas metakognisinya.
Penyelesaian masalah dalam matematika merupakan suatu proses mental yang kompleks
yang memerlukan visualisasi, imajinasi, manipulasi, analisis, abstraksi dan
penyatuan ide. Dalam proses penyelesaian masalah matematika, terjadi interaksi
antara aktivitas kognitif dan metakognitif. Aktivitas kognitif terbatas pada
bagaimana informasi diproses untuk mencapai tujuan, sedangkan aktivitas
metakognitif penekanannya pada kesadaran seseorang terhadap apa yang
dilakukannya. Penyelesaian masalah akan diawali dengan bagaimana siswa
mengenali masalah tersebut, misalnya dengan membangun representasi mental dari
masalah yang dibaca, memutuskan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut sampai
dengan bagaimana mengevaluasi hasil yang dibuatnya.
Hubungan aktivitas
kognitif dan metakognitif dikemukakan oleh Kayashima dan Inaba (2007) dalam
suatu model yang disebut sebagai model aktifitas metakognitif selama
berlangsungnya proses penyelesaian masalah. Model ini menggambarkan bagaimana
aktifitas kognitif yang diawali dari mengobservasi masalah sampai dengan
menemukan jawaban. Kemudian untuk membentuk aktivitas metakognitif
pebelajar perlu mengenali tujuan dan proses dari aktivitas kogntif. Selama
proses penyelesaian masalah berlangsung, pebelajar mengobservasi pemikirannya
pada tataran kognitif untuk mengevaluasi proses tersebut dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya. Ia mengevaluasi apakah proses penyelesaian masalah
berjalan dengan baik atau tidak. Jika proses tersebut diputuskan ”tidak baik”,
maka secara berhati-hati pebelajar menjejaki kembali aktivitas kognitifnya
untuk memeriksa proses tersebut, dan meneliti ingatan jangka panjangnya untuk
mendapatkan suatu informasi yang dapat digunakan untuk membuat penyelesaiannya
menjadi lebih baik.
Untuk mengetahui pemanfaatan
aktivitas siswa dalam menyelesaikan masalah perlu dilakukan suatu analisis
terhadap karakteristk-karakteristik metakognsi yang muncul ketika
berlangsungnya proses penyelesaian masalah. Karakteristik-karakteristik
tersebut dapat dianalisis atau dikonstruksi melalui suatu kajian terhadap
respons-respons yang diberikan siswa.
Dalam hubungannya dengaan
pembelajaran, Dawson & Fuhcer (2008) mengemukakan bahwa siswa-siswa yang
menggunakan metakognitifnya dengan baik akan menjadi pemikir yang kritis,
problem solver yang baik, serta pengambil keputusan yang baik dari pada mereka
yang tidak menggunakan metakognisinya. Di samping itu Marthan &
Koedinger (2005) menyatakan bahwa guru dapat meningkatkan penggunaan
strategi metakognitif dalam membahas suatu konsep yang baru dengan
mengingatkan kembali apa yang sudah diketahui siswa sebelumnya.
2. Strategi
Pengembangan Metakognisi.
Metakognisi merupakan suatu aktifitas mental yang tidak dapat
diajarkan tetapi dapat di”infuse” dalam pembelajaran atau pelatihan. Berkenaan
dengan pelatihan metakognitif, Osman & Hannafin (Nurdin, 2007)
mengemukakan bahwa kriteria pengklasifikasian strategi pelatihan metakognitif
yaitu pendekatan pelatihan (training approach) dan hubungannya dengan
materi pelajaran (relation to lesson content). Strategi-strategi pelatihan
metakognitif berdasarkan pendekatannya, ada yang melekat (embedded)
atau tergabung dalam isi pelajaran dan ada yang diajarkan secara terpisah (detached)
dari materi pelajaran. Berdasarkan hubungannya dengan konten/isi pelajaran,
strategi mungkin tergantung pada (dependent on), atau bebas dari (independen
of) konten/isi pelajaran. Strategi content-dependent
terfokus secara eksplisit pada konsep-konsep yang dipelajari dari konten
khusus. Sebaliknya strategi content-independent adalah bebas dari
konten, yakni strategi umum yang tidak spesifik pada materi-materi pelajaran
tertentu. .
Untuk mendapatkan kesuksesan belajar
yang luar biasa, guru harus melatih siswa untuk merancang apa yang hendak
dipelajari, memantau kemajuan belajar siswa, dan menilai apa yang telah dipelajari.
Ada 3 strategi
metakognitif yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar siswa,
diantaranya:
Tahap proses sadar belajar, meliputi
proses untuk menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang
akan dan dapat diakses (contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di
perpustakaan, mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat
sunyi), menentukan bagaimana kinerja terbaik siswa akan dievaluasi,
mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar
siswa.
Tahap merencanakan belajar, meliputi proses
memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar,
merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas
dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah
yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar (outlining,
mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).
Tahap monitoring dan refleksi
belajar, meliputi proses
merefleksikan proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan
tes diri (self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini
bermakna dan bermanfaat bagi saya?, bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat
saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga
konsentrasi dan motivasi tinggi dalam belajar.
Dalam praktik mengajar di kelas,
guru direkomendasikan untuk memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk
saling berdiskusi dan bertukar ide-pengalaman dalam belajar. Harapannya, setiap
individu siswa dapat menilai kemampuan diri mereka masing-masing dalam belajar,
setiap siswa dapat menentukan kesuksesan belajar dengan menggunakan gaya
belajar mereka sendiri, dan yang paling penting, setiap siswa dapat belajar
efektif dengan memberdayakan modalitas belajar dirinya sendiri yang unik dan tak terbandingkan.
efektif dengan memberdayakan modalitas belajar dirinya sendiri yang unik dan tak terbandingkan.
Satu lagi yang tidak boleh
dilupakan, catat setiap pengalaman belajar yang siswa kerjakan. Siswa perlu
dibiasakan membuat jurnal harian dari setiap pengalaman belajar yang
dialaminya. Jurnal ini akan sangat membantu siswa dalam menterjemahkan setiap
pikiran dan sikap mereka dalam berbagai bentuk (simbol, grafik, gambar,
cerita), melihat kembali persepsi awal mereka tentang sesuatu dan
membandingkannya dengan keputusan baru yang mereka buat, menjelaskan proses
pemikiran mereka tentang strategi dan cara membuat keputusan dalam kegiatan
pembelajaran, mereka akan mengenal pasti kelemahan dalam pilihan sikap yang
diambil dan mengingat kembali kesulitan dan keberhasilan mereka dalam belajar.
Selanjutnya Nurdin (2007) mengemukakan beberapa contoh strategi guru dalam
meningkatkan kemampuan metakognitif siswa, antara lain: (1). Mintalah siswa
untuk memonitor apa yang mereka pelajari dan pikirkan, termasuk memonitor
pekerjaan temannya dalam kelompok, (2). Mintalah mereka untuk mengungkapkan
kembali informasi yang disajikan dalam text yang dibaca, (3). Mintalah siswa
untuk mengajukan suatu pertanyaan, (4). Meminta siswa untuk bagaimana
mentransfer pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menghadapi masalah.
Pengajuan pertanyaan merupakan
salah satu strategi sederhana dalam mengembangkan metakognisi siswa. Hal ini
dapat dilakukan secara klasikal maupun secara individu atau
kelompok dalam bentuk pengajuan masalah. Beberapa strategi untuk
mengembangkan metakognisi seseorang menurut Blakey dan Spence
(1990) adalah sebagai berikut: (1). Mengidentifikasikan “apa yang anda tahu”
dan “apa yang anda tidak tahu.” Mengawali suatu aktivitas, siswa perlu membuat
keputusan yang disadari tentang pengetahuannya. Pertama-pertama siswa menulis:
“apa yang sudah saya ketahui tentang …,” dan “apa yang ingin saya pelajari
tentang ….” , (2). Menyuarakan pikirannya (Talking about thinking),
(3). Dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah, guru seharusnya menyuarakan
pikirannya sehingga siswa dapat mengikuti pendemonstrasian proses berpikir
tersebut. (4). Mengumpulkan pemikirannya dalam bentuk jurnal Jurnal atau
catatan harian merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan
metakognisi siswa. Melalui jurnal siswa dapat merefleksikan pemikiran mereka
dalam bentuk catatan tentang kesadaran terhadap ketidakkonsistenan dan
kebingungan mereka serta mengomentari bagaimana mereka peduli dengan kesulitan
yang dihadapi, (5). Perencanaan dan Pengaturan Diri Sendiri (Self
Regulation) Siswa sebaiknya meningkatkan tanggungjawabnya dalam
merencanakan dan mengatur pembelajarannya sendir, (6). Melaporkan
kembali proses berpikir tersebut (debriefing the thinking process).
Aktivis terakhir dalam mendiskusikan proses berpikir adalah untuk mengembangkan
kesadaran terhadap strategi-strategi yang dapat diaplikasikan dalam
situasi pembelajaran yang lain, (7). Mengevaluasi diri (Self
Evaluation). Proses evaluasi diri dapat diperkenalkan melalui
pertemuan-pertemuan individual dan daftar pertanyaan yang berpusat pada proses
berpikir.
Salah satu strategi menurut
Kelly (2006) yang digunakan dalam melatih siswa tentang pemikiran
metakognitif dan untuk membantu siswa menyelesaikan masalah secara
kooperatif adalah strategi THINK (Talk, How, Identify, Notice,
Keeping). Proses penyelesaian masalah akan diawali dengan
membaca dan mencoba memahami masalahnya atau membicarakan makna dari
masalah tersebut, dalam hal ini diistilahkan dengan “T-Talk.”
Pada bagian ini mereka menguraikan situasi yang terjadi dalam masalah dan
menjelaskan apa yang ditanyakan serta mengidentifikasikan informasi penting
dalam masalah. Selanjutnya difokuskan pada bagaimana masalah dapat diselesaikan
atau pada tahapan yang diistilahkan dengan “H-How,”.
Di samping bertukar pikiran (ide) untuk menyelesaikan masalah siswa juga
ditanyakan untuk memutuskan dan menjelaskan mengapa mereka berpikir
menyelesaikan masalah tersebut. Ketika mereka memperoleh ide untuk
menyelesaikaan masalah tersebut, selanjutnya dalam tahapan “I-Identify,”
diidentifikasikan strategi atau rencana penyelesaian masalah. Aspek
penting di sini adalah siswa diminta untuk berpikir dan mengevaluasi kelebihan
dan kelemahan dari rencana/strategi yang digunakan. Untuk mengetahui
pemahaman siswa, mereka diminta untuk memberitahukan bagaimana strategi yang
dipakai membantu menyelesaikan masalah, dan tahapan ini disebut sebagai tahapan
“N-Notice”. Tahapan dari strategi
ini adalah siswa diminta untuk mengecek apa yang dilakukan melalui “K-Keep
Thinking” tentang masalah dan menentukan apakah penyelesaian masalah
tersebut bermakna. Menurut Kelly, berdasarkan hasil penelitiannya, penggunaan
panduan THINK merupakan salah satu alat latihan metakognisi untuk
menuntun interaksi antar siswa dalam menyelesaikan masalah.
Dari penjelasan di atas dapat
dikatakan bahwa strategi pengembangan metakognisi adalah suatu cara yang
dapat digunakan untuk mengaktifkan dan meningkatkan metakognisi
seseorang. Guru dapat memilih strategi mana yang tepat dan ini tentunya di
dasarkan pada perefleksian terhadap berbagai pengalaman yang terjadi selama
proses pembelajaran. Di samping itu penilaian terhadap kemampuan
metakognisi seseorang dapat dilakukan selama aktivitas pembelajaran berlangsung
dengan mendengarkan pembicaraan siswa selama berdiskusi atau merevieu jurnal
yang dibuat berkaitan dengan pembelajaran.
Beberapa penelitian yang
berkaitan dengan metakognisi dalam pembelajaran matematika menunjukkan bahwa
metakognisi diperlukan dalam pembelajaran matematika, misalnya dalam
hubungannya dengan miskonsepsi, kesalahan dan hal-hal yang kurang dalam
mengembangkan ide-ide matematika. Dalam proses penyelesaian masalah
matematika siswa tentunya memahami masalah, merencanakan strategi penyelesaian,
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan, serta melaksanakan keputusan
tersebut. Dalam proses tersebut mereka seharusnya memonitoring dan mengecek
kembali apa yang telah dikerjakannya. Apabila keputusan yang diambil tidak
tepat, maka mereka seharusnya mencoba alternatif lain atau membuat suatu
pertimbangan. Proses menyadari adanya kesalahan, memonitor hasil pekerjaan
serta mencari alternatif lain merupakan beberapa aspek-aspek metakognisi yang
perlu dalam penyelesaian masalah matematika.
Menurut Sjuts (1999),
keberhasilan dalam pembelajaran matematika dapat diketahui melalui aktivitas
metakognisi. Beberapa aspek metakognisi dapat dikembangkan menggunakan strategi
pengembangan metakognitif, misalnya penyelesaian masalah secara berpasangan (Pair
Problem solving). Dalam pelaksanaannya satu siswa berbicara mengenai
masalah tersebut, menguraikan proses berpikirnya, pasangannya mendengar dan
menanyakan pertanyaan untuk membantu mengklarifikasikan pemikirannya.
Pasangan kolaborasi ini disebut oleh Luis (2006) sebagai Thinker and
Listener. Pasangan ini berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
Thinker bertindak sebagai
orang yang mencoba menyelesaikan masalah dengan menyuarakan pikiran sementara
Listener bertindak sebagai orang yang mendengarkan dan mengajukan pertanyaan
untuk mengecek kebenaran pemikiran dari pasangannya. Pekerjaan kolaborasi
sebagai bentuk pembelajaran yang praktis dapat membantu siswa mengembangkan
strategi metakognisi mereka. Artzt & Armour Thomas, (Luis, 2006)
mengemukakan bahwa setting kelompok kecil dapat memunculkan pengungkapan
kata-kata siswa secara spontan dan memungkinkan mereka untuk meningkatkan
idenya melalui pengujian yang bersifat kritis.
Dari penjelasan di atas dapat
dikatakan bahwa dalam mengembangkan kemampuan metakognisi siswa diperlukan
beberapa strategi yang sebaiknya diterapkan dalam kelompok-kelompok kecil.
Salah satu strategi yang sederhana dalam mengembangkan metakognisi siswa adalah
melalui strategi pengajuan pertanyaan. Di samping itu penilaian
terhadap kemampuan metakognisi seseorang dapat dilakukan selama aktivitas
pembelajaran berlangsung dengan mendengarkan pembicaraan siswa selama
berdiskusi atau merevieuw jurnal yang dibuat berkaitan dengan pembelajaran.
3. Pengembangan
Metakognisi dalam Pembelajaran Matematika.
Berdasarkan berbagai strategi
pengembangan metakognisi di atas, maka salah satu strategi yang dapat digunakan
untuk membantu siswa dalam memahami suatu konsep matematika adalah melalui
pembuatan Jurnal belajar. Hal ini didasarkan juga pada kenyataan bahwa
salah satu faktor kegagalan sebagian mahasiswa adalah karena mereka tidak
memiliki catatan tentang apa yang dipelajarinya.
Jurnal belajar, sebagai
istilah yang diterjemahkan dari learning journal merupakan
wadah yang memuat hasil refleksi dalam bidang pembelajaran. Dalam
kemendiknas (2010), dikatakan bahwa jurnal belajar tidak hanya berorientasi
pada pengembangan kemampuan akademis semata akan tetapi diharapkan melalui
kebiasaan menuliskan pengalaman belajar, peserta didik tersebut terbiasa
mengekspresikan perasaan, pemikiran ataupun harapannya tentang pembelajaran
yang diberikan guru. Dengan demikian pembuatan Jurnal belajar lebih dekat
sebagai alat untuk komunikasi dan diseminasi informasi, temuan, pemikiran,
hasil pengamatan tentang pembelajaran. Tulisan dalam Jurnal dapat berupa
kalimat-kalimat sederhana, apakah itu penyelesaian soal mata pelajaran
tertentu atau bahkan hanya ungkapan bahwa peserta didik itu senang belajar hari
itu karena guru memberi kesempatan untuk mendiskusikan masalah yang menarik.
Beberapa pertanyaan yang
diminta untuk di jawab dalam jurnal belajar ketika mengakhiri perkuliahan
adalah : materi apa yang baru saja anda pelajari, apakah anda mengerti semua
materi tersebut, atau apakah ada materi yang tidak anda pahami, jika ada,
tuliskan materi tersebut.
Dari analisis terhadap
beberapa jawaban yang tertulis dalam Jurnal, diketahui bahwa ada kelompok
mahasiswa yang mengatakan memahami keseluruhan materi, ada yang mengemukakan
bahwa mereka memahami sebagian tetapi tidak ada yang mengatakan tidak memahami
sama sekali. Bagi mereka yang kurang memahami, mereka mengatakan bahwa mereka
akan bertanya pada teman atau mencari sumber yang lain, mencoba
mengerjakan tugas yang diberikan. Dari informasi yang tertulis, dapat
dilihat beberapa indikator pemanfaatan metakognisi seperti pengetahuan tentang
kelemahan diri sendiri dan memahami kelebihan orang lain, serta
pengetahuan tentang tugas-tugas yang diberikan.
Dalam proses pembelajaran,
pemanfaatan metakognisi dapat diketahui ketika mahasiswa diberi kesempatan
menyelesaikan masalah. Berikut salah satu contoh pengungkapan
pemanfaatan metakognisi dalam menyelesaikan soal persamaan linier.
Diberikan soal berikut.
Diketahui sistem persamaan linier dua variabel: x + 2y = 6 dan x + 3y = 8, mempunyai penyelesaian :
dan . Carilah penyelesaiannya
yang memenuhi
Sebelum siswa menyelesaikannya mereka
diminta untuk membaca sekitar 5 menit (tanpa menulis), kemudian menjawab
pertanyaan berikut: Apakah anda memahami soal tersebut?
Dapatkah anda menyelesaikannya? Setelah diberi kesempatan menjawab,
kemudian mereka diminta untuk menjawab pertanyaan lanjutan:
Bagaimana cara anda mengerjakannya? (mereka diberi kesempatan untuk
mengerjakan), Selesai mengerjakan, mereka diminta untuk menjawab
pertanyaan berikut. Apakah pertanyaannya sudah terjawab? Bagaimana anda
mengetahuinya? Apakah anda yakin dengan apa yang anda kerjakan?
Pertanyaan-pertanyaan terakhir berkaitan dengan pemanfaatan strategi
metakognitif khusunya pemonitoran dan pengevaluasian.
Dari analisis terhadap
pekerjaan dan jawaban yang diberikan, diketahui bahwa ada siswa yang
menyadari bahwa mereka belum dapat menyelesaikan dengan baik, ada yang meyakini
kebenaran pekerjaannya dan ada yang tidak meyakini apa yang dikerjakannya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa secara tertulis aktifitas metakognisi dapat
terdeteksi, tetapi perlu dilanjutkan dengan wawancara secara mendalam.
Hasil analisis menunjukkan bahwa mereka yang memanfaatkan aktifitas
metakognisinya dapat menyelesaikan masalah dengan baik.
Kajian ini menunjukkan bahwa
Jurnal belajar / Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai salah satu strategi yang
digunakan untuk mengaktifkan metakognisi siswa dapat meningkatkan pemahaman
terhadap materi yang dipelajari, sekaligus merupakan bahan bagi dosen untuk
merefleksikan diri baik dalam mempersiapkan bahan ajar maupun pengajaran yang
dilakukan.
Di samping penggunaan jurnal /
Lembar Kerja Siswa , aktifitas pemantauan metakognisi lain yang ditemui dalam
kelas matematika adalah melalui pembelajaran dalam bentuk kelompok. Beberapa
aktifitas metakognisi yang dapat di amati adalah siswa membaca masalah, menggaris bawahi dan
melingkari beberapa kata. Ketika ditanyakan alasan menggaris bawahi maupun
melingkari kata-kata tersebut, mereka mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk
mempermudah dalam mengingat informasi penting dalam masalah yang di baca. Ini
menunjukkan bahwa secara sadar mereka memanfaatkan strategi-strategi belajar.
Interaksi yang terjadi
antara siswa juga memunculkan kesadaran mereka terhadap kesalahan yang di buat
dan memutuskan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam proses ini
mereka saling memantau aktifitas berpikir mereka dan saling memperbaiki
kesalahan perhitungan maupun kesalahpahaman terhadap konsep yang dipelajari.
Hal ini menunjukkan bahwa salah satu cara memunculkan kesadaran terhadap apa
yang dilakukan adalah dengan strategi pemonitoran kognitif yang dilakukan oleh
orang lain melalui diskusi maupun pemeriksaan terhadap hasil pekerjaan
kita. Ketika kita menyadari kesalahan kita, maka melalui pemanfaatan
strategi pengevaluasian kognitif kita dapat memutuskan untuk memperbaiki
kesalahan tersebut. Pemanfaatan metakognisi secara baik akan membantu
pebelajar maupun guru dalam meningkatkan prestasi kerja mereka.
C.
PENUTUP.
Keberhasilan pembelajaran akan
sangat tergantung dari peranan guru sebagai pengambil keputusan. Pengambilan
keputusan dilakukan melalui perefleksian atau perenungan terhadap proses
pembelajaran yang akan dilakukan, mulai dari bagaimana merencanakan
pemebelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengakhiri pembebelajaran.
Aktifitas perefleksian merupakan salah satu indicator metakognisi yang sangat
berperanan dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Siswa yang terlibat dalam
proses belajar mengajar akan berhasil apabila memanfaatkan semua komponen
metakognisinya dalam mengikuti pembelajaran maupun menyelesaikan masalah.
Pengembangan metakognisi siswa dapat dilakukan melalui pengajuan pertanyaan
secara klasikal, kelompok-kelompok kecil, berpasangan maupun secara individu
maupun kelompok. Di samping itu Melalui jurnal siswa / Lembar Kerja Siswa dapat
merefleksikan pemikiran mereka dalam bentuk catatan tentang kesadaran mereka
terhadap ketidak konsistenan dan kebingungan mereka serta mengomentari
bagaimana mereka peduli dengan kesulitan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA .
Anderson,O.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A
Taxonomy for Learning Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy of
Educational Objectives), Addision Wesley, Longman, New York.
Blakey, E. & Spence, S. 1990. Developing
Metacognition, Clearinghouse on Information Resources Syracusa, New York.
Dawson, Th & Fucher, K 2008,
Metacognition and Learning Adulthood, Contemporary Education Psychology, 11,
233-236.
Desoete, A. 2001. off-line metacognition in
Children with Mathematics Learning Disabilities, Disertation, Universiteit
Gent.
Flavell, J.H. 1976. Metacognition and Cognitive
Monitoring, A New Area of Cognitive Developmental Inquiry, American Psychologist,
34, pp.906-911.
Gama, C. 2004. Integrating Metacognition
Instruction in Interactive Learning Environment, University of
Sussex, http://www. Integrating Metacognition,
diakses 15 September, 2006.
Hunter,M (2004), Enhanching Teaching, MacMillan
College Publication, Co, New York.
Kayashima,M & Inaba,A. 2007. The Model of
Metacognitive Skill and How to Facilitate Development of the Skill,
Faculty of Arts and Education, Tamagawa University, Japan
Kelly, R.T. 2006. Teaching Problem Solving,
Journal of Research in Mathematics Education, NCTM ,Reston,VA.
Kemendiknas, 2010, Panduan Penyusunan Jurnal
Belajar, Program Bermutu , Jakarta.
Livingston, J.A. 1997. Metacognition: An
Overview; available:
http:// www.qse.buffalo.edu/fas/schuell/cep564/metacog.htm,
diakses, 20 September 2006.
Luis, T. etc. 2006. Thinker-Listener Pair
Interactions to Develop Student’s Metacognitive Strategies for Mathematical
Problem Solving ,Nanyang Technology University,Singapore.
Marthan, S & Koedinger, K, 2005, Fostering
the Intelligent novice: Learning from Error with Metacognitive Tutoring,
Educational Psychology, 89(4), 686-695.
Mudzakir, M.D. 1998. Metakognisi Dosen Dalam
Proses Pembelajaran, Disertasi, Tidak dipublikasikan. Program
PascaSarjana, Universitas Negeri Malang,
Nurdin. 2007, Model Pembelajaran yang
Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif, Disertasi tidak dipublikasikan,
Program Pascasarjana Unesa, Surabaya.
Panoura, A. dkk. 2005. Young Pupil’s
Metacognitive Ability In Mathematics, European Research in Mathematics,
Departeman Of Education, University of Cyprus,Cyprus.
Schoenfeld, A.1992. Hand Book of Researh on
Mathematics Teaching and Learning, Mc Millan Co.New York.
Sjuts, J.L.1999. Metacognition in Mathematics
Lessons,. Available : http://www/
web.doc.sub.gwdg.de/book/e/gdm/1999, index.html,pp.76-87, diakses 15 Maret
2006.
Veenman, M, 2006, Metacognition and Learning:
Conceptual and Methodological Consideration, Spinger Sciense Book, Co,
Netherland.
Yong, H.T.Y. & Kiong, L.N.K. 2006. Metacognitive
Aspect of Mathematics Problem Solving, MARA University of Technology
Malaysia, Kuala Lumpur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar